.

Selasa, 08 Desember 2009

Mengembangkan Ubi Jalar

Diposting oleh maswotto

Ubi jalar, yang di beberapa daerah disebut telo rambat atau huwi boled, merupakan sumber karbohidrat yang cukup penting dalam sistem ketahanan pangan kita. Meskipun pamor ubi jalar masih kalah populer dibanding beras dan jagung, tanaman yang banyak dikonsumsi langsung penduduk pedesaan ini memiliki peran strategis sebagai bahan baku industri pangan di dalam negeri dan komoditas ekspor.Konsumsi ubi jalar di dalam negeri kini mencapai 9,6 kg/tahun dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Komoditas ini mempunyai peluang yang besar untuk diolah menjadi tepung sebagai subsitusi tepung terigu yang masih diimpor. Sebagai bahan pangan yang kaya akan kalori (sekitar 123 kal), ternyata ubi jalar juga mengandung nutrisi (gizi) yang cukup tinggi, terutama ubi jalar yang berwarna merah. Kandungan vitamin A pada ubi jalar merah dapat mencapai 7.700 Sl, jauh lebih tinggi dibanding kelompok padi-padian maupun umbi-umbian lainnya. Kandungan vitamin C pada daun ubi jalar juga jauh lebih tinggi dibanding daun lalapan lain. Kandungan vitamin C pada daun ubi jalar bisa mencapai 45-62 mg, sedang pada pucuk singkong, misalnya, cuma sekitar 25 mg. Beta karotin dan antociamin sangat baik bagi kesehatan, yaitu untuk pencegahan berbagai penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, stroke, dan kanker. Di Jepang, ubi jalar sejak lama telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan tradisional dan dipromosikan setara dengan hamburger dan pizza. Tak mengherankan jika di negara Sakura ini, berbagai makanan berbahan baku ubi jalar kini banyak dijumpai di toko-toko hingga restoran bertarap internasional. Ubi jalar Indonesia ternyata juga sudah diekspor. Ubi jalar Cilembu asal Sumedang misalnya, sejak lama telah menembus pasar ekspor di Singapura, Malaysia, Korea, dan Jepang. Salah satu perusahaan pengolah ubi Cilembu di Bandung, Jabar, kini mampu mengekspor ubi yang telah di-oven rata-rata empat ton per bulan. Di Singapura, harga ubi jalar Cilembu yang sudah matang dijual 20 dolar Singapura atau sekitar Rp 112.000/kg (kurs Rp 5.600). Seperti tanaman pangan lainnya, ubi jalar di Indonesia umumnya diusahakan petani dalam lahan yang relatif sempit (skala terbatas). Sejak tahun 1960-an, tanaman ini memang telah meluas ke berbagai provinsi sehingga tahun 2000 Indonesia tercatat sebagai produsen ubi jalar utama kedua di dunia setelah Cina. Namun, akibat berbagai kendala yang dihadapi, pengembangan ubi jalar di dalam negeri relatif lamban. Saat ini, usahatani ubi jalar masih didominasi oleh petani skala kecil, modal terbatas, dan dengan penerapan teknologi budidaya yang juga masih terbatas. Padahal, di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) ubi jalar, kita sebenarnya sudah lumayan maju. Tak kurang dari 14 varietas unggul dan produktivitas tinggi telah dihasilkan sejak tahun 1977, seperti Daya, Prambanan, Borobudur, Mendut, Kalasan, Sukuh, dan sebagainya.Budi daya ubi jalar sebenarnya relatif mudah dan sederhana. Risiko usaha, khususnya serangan hama-penyakit, relatif kecil dibanding tanaman pangan lainnya. Ubi jalar juga mempunyai daya adaptasi tinggi dan luas terhadap kekeringan. Yang terutama dibutuhkan hanyalah lahan bertekstur gembur, berstruktur ringan, dengan syarat kecukupan air hanya pada periode kritis pertumbuhan (vegetatif). Pasar Para petani Indonesia masih membutuhkan strategi pemasaran yang tepat. Ini sangat menentukan keberhasilan usahatani yang satu ini. Akses pemasaran, baik lokal apalagi ekspor, mutlak terus dikembangkan. Selama ini, terlihat tiga pola pemasaran yang ditempuh petani dalam memasarkan ubi jalar produksinya. Pertama, mereka menjual langsung ke konsumen atau melalui pasar tradisional/tengkulak. Petani memanen sendiri tanamannya, menyortir, lalu menjualnya ke pedagang pengumpul (juragan boiled). Kedua, petani menjual hasil usahataninya secara tebasan. Pedagang menaksir jumlah produksi dengan sejumlah asumsi, antara lain aspek umur tanaman, hasil panen musim tanam sebelumnya, dan produktivitas lahan tetangga. Ketiga, kemitraan petani dengan perusahaan pengolahan/pemasaran. Pola ini tampak sudah cukup berkembang di kalangan petani ubi jalar, walau baru dalam skala terbatas. Kedua belah pihak telah menjalin kontrak kerja sama sejak awal dan didesain sedemikian rupa sehingga benar-benar menguntungkan kedua belah pihak. Bahkan terkadang petani juga dibantu mendapatkan permodalan atau sarana produksi yang pembayarannya diperhitungkan setelah panen. Guna mempercepat pengembangan agribisnis ubi jalar di dalam negeri, ke depan pola kemitraan ini tampaknya menjadi pola pemasaran yang paling ideal untuk pertanian, termasuk dalam agribisnis ubi jalar. Sebab, pola pemasaran pertama dan kedua umumnya membuat petani berada pada posisi tawar yang lemah karena ingin mendapatkan uang secepatnya. Akhirnya yang diuntungkan adalah pedagang dan perusahaan pengolahan. sumber www.situshijau.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan beri komentar