"Aset paling berharga bagi perusahaan pada abad ke-21 adalah pengetahuan dan pekerja terdidik". (Peter Druckers, Management Challenges for The 21st Century).
Dewasa ini, dunia 'digegerkan' dengan terbitnya majalah Forbes yang mengklasifikasi manusia menurut harta kekayaan mereka. Mulai dari tokoh bisnis hingga artis yang sudah masuk list redaksi majalah, semuanya dapat diketahui jumlah kekayaan materi mereka. Sehingga, secara tidak langsung, memicu para manusia untuk sekedar mengapresiasi atau mengambil pelajaran dari mereka, baik secara subtantif maupun keseluruhan.
Dalam konteks inilah buku yang berjudul Rahasia Bisnis Orang Asia Terkaya di Dunia; Kiat Sukses Lakshmi Mittal dari Surabaya ke London ini hadir. Walaupun tokoh yang dibahas dalam buku ini tidak manusia yang menduduki kursi pertama di ranah urutan orang terkaya di dunia, tapi tokoh yang bernama Lakshmi Nivas Mittal pernah dinobatkan sebagai orang Asia yang menduduki kursi manusia terkaya di Asia. Pada tahun 2005, Mittal juga pernah dinobatkan majalah Forbes sebagai manusia terkaya ketiga di dunia.
Menurut Zia Permata Buana, Mittal cocok dijadikan sebagai salah satu tokoh terkaya di dunia yang patut dikorek ilmu kesuksesannya bagi masyarakat Indonesia. Mittal yang terlahir di negara India yang tingkat kapadatan jumlah penduduknya di benua Asia menempati urutan kedua setelah China ini, dibesarkan dari keluarga yang fakir sebagaimana banyak keluarga di Indonesia. Selain itu, proses kesuksesan Mittal dalam bisnis Baja-nya selama ini juga tidak jauh dari masyarakat Indonesia. Selama bertahun-tahun Mittal memulai bisnis dan menggalang strategi di tanah Indonesia, Surabaya.
Dari Keluarga Fakir dan Desa Miskin
Bagi kita, mungkin bisa tercengang dan tertawa sekaligus merasa mustahil ketika mendengar cita-cita seorang bocah yang sangat fakir, berkeinginan untuk menuai kesuksesan, apalagi kesuksesannya itu ingin diakui manusia di seluruh belahan dunia.
Adalah Lakshmi Nivas Mittal, Seorang bocah yang lahir dari Sadulpur, India, yang dahulu tanahnya terkenal gersang, berpasir dan hanya ditumbuhi pohon-pohon berduri, sukses menanggalkan atribut kemiskinannnya dengan menyandang predikat sebagai orang Asia terkaya di dunia. Berbagai perusahaan baja yang dijadikan tempat memfokuskan diri untuk mengembangkan bakat dan menumpuk harta kekayaannya tersebar di berbagai pulau bahkan benua. Bocah yang terlahir di negara India yang dahulu harga diri dan perekonomiannya diacak-acak dan dijungkirbalikkan para kolonial penjajah, sekarang jumlah kekayaannya melejit jauh di atas keturunan oknum-oknum yang pernah menjajah nenek moyangnya.
Mengutamakan Pendidikan
Di balik kesuksesan dan melimpahnya harta kekayaan yang dimiliki Mittal, ternyata tidak jauh dari peran dan komitmen Ayahnya, Mohan, yang menomor satukan pendidikan anak-anaknya. Bagi Mohan, pendidikan merupakan jembatan yang bisa mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan. Melalui pendidikan seseorang berpeluang luas untuk melakukan mobilitas vertikal, baik harta kekayaan maupun penghormatan sesama manusia dan 'ketentraman' spiritualitas secara pribadi.
Setelah lulus SMA, Mittal, remaja yang dikenal teman-teman dan keluarganya sebagai anak didik yang tergolong cerdas dan tekun itu, dengan berbagai usaha jerih payah ayahnya, dikuliahkan di universitas St. Xavier's College, sebuah universitas prestisius di Kolkata (dahulu bernama Calcutta) pada masa Mittal.
Semasa menimba ilmu di sana, dia diberi kebebasan orang tuanya untuk menikmati dan menimba ilmu sebaik-baiknya, tetapi karena kecerdasannya yang tinggi dan ditumpuki realitas ekonomi keluarga yang belum begitu mapan, Mittal berusaha minta izin ayahnya untuk diperbolehkan membantu pekerjaan. Dengan argumentasi belajar secara langsung, Mittal membagi waktu belajarnya sebagian digunakan untuk turut berkecimpung dalam usaha ayahnya. Mulai pukul 06.30 – 09.30 digunakannya belajar secara serius di dalam gedung pendidikan formal, sementara sisa waktunya digunakan belajar secara langsung dan membantu bisnis kecil-kecilan ayahnya yang semenjak pindah dari Sadulpur, Rajasthan ke Kolkata atau Calcutta pada tahun 1955 mengalami mobilitas ekonomi walaupun tidak begitu jauh.
Pada tahun 1969, setelah lulus dari universitas St. Xavier's College, Mittal mulai benar-benar menenggelamkan diri dan kecerdasannya di belantara dunia bisnis Baja. Dengan bergabung di bawah komando Ayahnya, Mittal tidak begitu lama mulai menunjukkan prestasi-prestasi yang begitu gemilang. Pada periode 1970-an, Mittal berperan aktif dan turut mensukseskan usaha ayahnya ketika dituntut konsumen untuk menghasilkan produksi 20 ton baja per tahun.
Surabaya Sebagai Landas Pacu
Bertepatan dengan prestasi-prestasi yang semakin diakui keluarga, Mittal merasa gelisah, ketika kesuksesan yang dicita-citakannya terancam oleh iklim usaha di India yang tidak kondusif. Pemerintah membebankan pajak perusahaan ayahnya hingga 97 % dari jumlah sebelumya. Bukan hanya itu, tentang kuota izin usaha baja bagi perusahaan swasta dibatasi secara keras.
Dalam keadaan yang terjepit seperti itu, Mittal yang baru berusia 26 tahun mencoba memberontak keadaan dengan meminta izin orang tuanya untuk melanjutkan dan mengembangkan bakatnya, dengan cara menghindari peraturan pemerintah yang dirasa dapat mengkerdilkan perusahaan bahkan gulung tikar.
Pada tahun 1976, dengan berbagai analisis situasi dan keadaan serta kecerdasan dalam memprediksi sesuatu, Mittal bersama istri dan anaknya hijrah ke Indonesia, Surabaya. Setelah beberapa lama di Surabaya, Mittal memilih Waru, salah satu daerah di pinggiran Surabaya, untuk mendidirikan pabrik Baja yang telah terencana sebelumnya.
Di atas tanah bekas persawahan seluas 16,5 hektar, Mittal mendirikan bangunan yang dijadikan pabrik bernama PT. Ispat Indo. Di sinilah Mittal mulai menyingsingkan lengan sepenuhnya. Ia menanamkan modal US$ 15.000.000 (Rp.135 Milliar) untuk mendirikan dan memulai mengoperasikannya.
Semakin hari semakin tahun perusahaannya mulai muncul dan dikenal di dunia bisnis baja di Indonesia, walau auranya masih sedikit tertutupi oleh aura pesaing-pesaingnya yang lebih dahulu bertempat di Indonesia, semisal Nippon Steel (Jepang).
Tetapi di balik kecerdasan dan pengalamannya yang besar serta kecerdasan dan kepiawaian sekretarisnya dalam berbahasa Inggris, tidak berapa lama PT. Ispat Indo mampu menggeser mereka dari urutan perusahaan baja terbesar di Indonesia. Bahkan, konon dari sinilah PT. Ispat Indo mulai percaya diri dan semakin melebarkan sayapnya dengan membeli perusahan-perusahaan baja yang hampir gulung tikar dijadikan alat meraih untung yang besar.
Dengan segala keterbatasan bahasa, Mittal merekrut Nur Saidah, warga lokal untuk membantunya mendirikan usaha. Mittal waktu itu masih belum bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya pun tidaklah sempurna. Ia mendirikan pabrik baja kecil di daerah Waru, perbatasan Sidoarjo-Surabaya (kira-kira, kenapa. Area pabriknya merupakan daerah terpencil, di mana banyak orang menyebutnya sebagai “daerah tempat jin buang anak”. Nur Saidah seorang wanita asal Surabaya ini menempuh perjalanan yang boleh dibilang berat untuk tiba di lokasi pabrik baja ini. Terkadang harus mengenakan sepatu boot karena daerah ini masih jauh dari memadai. Nur Saidah sekarang ini, menjabat sebagai Pimpinan dari PT Ispat Indo, sebuah pabrik baja di bawah naungan Mittal
sumber:http://www.suaramedia.com
RADIO ISLAM
DAFTAR ISI BLOG
SMS GRATIS
ANDA PENGUNJUNG KE
Link lainnya
Kamis, 10 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan beri komentar